Rabu, 16 Agustus 2017

Tidak Punya Gedung SD Sudah lebih dari 2 Tahun SD ini masih Numpang di Balai Desa




Oleh: Amir Hamzah

Warga Trasmigran asal daerah Jawa Tengah dan DI.Yogyakarta mengadukan nasibnya di Sepunggur, Kalimantan Utara

Janji manis dari Dinakertransduk ( Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Kependudukan ) Provinsi Jateng dan DIY memberikan fasilitas berupa Rumah layak huni dan lahan pertanian seluas 1 hektare.

Fasilitasnya sudah didapatkan namun masih banyak kendala dan rintangan yang harus dihadapi oleh warga Sepunggur, yang paling menyedihkan katika melihat anak-anak sekolah SD yang masih menumpang di Balai Desa Sepunggur, dan janji akan di bangun Gedung Sekolah SD pun hanya wacana belaka.

Mungkin hal ini Pemerintah harus memperhatikan Warga Binaan Transmigran Asal daerah Jateng dan DI.Yogyakarta yang dari daerah asal sudah dijanjikan kehidupan sejahtera di Kalimantan Utara ini.

Sedih rasanya jika kita yang hidup dikota dan membandingkan kehidupan warga Trasnmigran ini, setiap pagi anak-anak SD yang hendak berangkat kesekolah harus mengayuh sepeda mereka dengan jalanan yang becek dan licin (seperti sawah yang habis di bajak), namun semangat orang tua mereka untuk menyekolahkan anak-anaknya patut kita acungi jempol, 


Hal ini pemerintah harus memperhatikan pendidikan anak-anak warga binaan Transmigran agar meraka tidak putus sekolah karena tidak adanya gedung SD yang layak.

Besar harapan warga Transmigran Sepunggur kepada Pemerintah daerah dan Pemerintah Pusat untuk segera membangun GEDUNG SD SEPUNGGUR agar mereka anak-anak Sekolah Dasar tidak menumpang lagi di kantor Balai Desa

Suka Duka Warga Jateng di Lokasi Transmigrasi. Bagaimana Mereka Berlebaran?

Dikutip dari:
TRIBUNJATENG/M NUR HUDA

Raut wajah sumringah terpancar dari para transmigran saat menyambut kedatangan rombongan Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jateng beserta staf, di dermaga Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) Sepunggur, Kecamatan Tanjung Selor, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara, Rabu (17/5) sore.

Keceriaan itu seolah mereka sedang bertemu saudara yang lama tak jumpa. Sembari berjalan kaki di jalan kampung UPT yang masih berupa tanah, para transmigran asal Jawa Tengah itu tak henti-hentinya menceritakan keadaan mereka selama di lokasi sejak Oktober 2016 lalu.
Sepanjang jalan itu, para transmigran asal Jateng lainnya baik laki-laki, perempuan, dan anak-anak, juga tampak keluar rumah menyambut kedatangan rombongan dari Jateng. Masing-masing juga menawarkan pada tamunya ini untuk mampir sejenak di rumah mereka.

Kepala Disnakertrans Jateng, Wika Bintang bersama para warga transmigran asal Jateng di UPT Sepunggur, Bulungan, Kalimantan Utara, belum lama ini. (TRIBUNJATENG/M NUR HUDA)
“Alhamdulillah di sini damai, aman. Begitu sampai di sini, kita langsung bercocok tanam,” ujar salah satu transmigran asal Kedungjati, Grobogan, Sri Taryono, saat berbincang dengan Tribun Jateng, di teras rumah panggung yang ia huni bersama istri.

Di UPT Sepunggur terdapat 100 Kepala Keluarga (KK) transmigran asal Jateng yang diberangkatkan Oktober 2016 lalu. Mereka transmigran pertama yang mengikuti program modal sharing atau kerjasama antara Pemprov Jateng dengan pemerintah pusat, pemkab daerah asal, dan pemkab daerah tujuan.
Tanah di lokasi transmigrasi ini terbilang subur. Di sekitar permukiman terlihat berbagai tanaman berupa padi, singkong, cabai, kedelai, jagung, terung, pisang, pepaya, sayur-sayuran, buah nanas, dan lainnya. Bahkan di bahu jalan kampung, oleh mereka ditanami kacang tanah dan terlihat tumbuh subur. “Ini semua ditanam tidak pakai pupuk,” ujar Taryono.

Sedangkan di antara kanan dan kiri jalan kampung ini, terdapat saluran irigasi yang masing-masing selebar sekitar 3 meter. Saluran ini terhubung ke Sungai Kahayan yang memiliki lebar mencapai ratusan meter, bermuara di selat pulau Tarakan dengan Bulungan.

Sehingga ketika air sedang pasang yang biasanya terjadi sehari dua kali, dimanfaatkan warga untuk memancing ikan dari depan rumah. “Kendalanya, masih banyak tikus, banyak monyet juga yang suka makan terong, jagung, ketela,” tuturnya.

Transmigran lainnya, Sunarno (47) asal Desa Babadan, Kecamatan Sambi, Kabupaten Boyolali, terlihat bersemangat menceritakan pengalamannya selama kurang lebih delapan bulan ini. Bahkan ia mengaku Lebaran nanti tidak ingin pulang ke Boyolali. “Insya Allah kerasan. Di sini lebih tenteram dan damai karena di sini masih kayak zaman dulu semua serba manual, belum ada teknologi kayak di Jawa. Tidak ada TV, adanya cuma radio,” ujarnya.

Memang, saat ini UPT Sepunggur belum teraliri listrik, meski tiap rumah sudah terpasang instalasi listrik. Untuk penerangan di waktu malam mereka menggunakan lampu minyak. Warga yang ingin menikmati listrik, sementara harus membeli panel solar cell seharga Rp 500 ribu untuk kapasitas 40 watt.

Untuk hasil dari lahan pertanian, Sunarno cukup puas, karena untuk tanaman padi bisa panen dalam tiga bulan. Bibit padi pun banyak yang menjual, semisal bibit jenis 64, mentik wangi, dan sebagainya. Tanaman cabai pun bisa panen tiap minggu. “Cabai Rp 40 ribu per kilogram, kalau pas mahal bisa sampai Rp 140 ribu per kilogram. Cabai itu sekali berbuah bisa terus menerus,” katanya.
Hasil-hasil dari pertanian itu, mereka tak perlu bersusah menjualnya ke pasar. Sebab ada pedagang sayur yang berkeliling, dan biasanya langsung membeli hasil pertanian warga. Jika uang yang dibawa pedagang tak cukup, biasanya ditukar dengan kebutuhan rumah tangga lain yang tak ditanam warga.
Namun diakui ada kendala pasang surut air sungai Kahayan terlalu tinggi yang selalu masuk area lahan pertanian, meski tidak semuanya. Dari informasi yang ia terima, pemerintah akan membangun bendungan dan membangun talud di sepanjang saluran irigasi itu.